Simalungun, Gnewstv.id
Salah seorang ahli waris Raja Tanah Jawa ke 18 Tuan Djintar Sinaga, Arwansyah Sinaga menyatakan, tidak ada tanah adat/ulayat di Kabupaten Simalungun. Yang ada, tanah kerajaan. Itupun sudah diambil alih pemerintah semasa kemerdekaan 1945 lalu.
“Kalau disebut di Dolok Parmonangan ada tanah adat yang dulunya disebut Parmanangan, tidak benar karena itu dulu bagian dari wilayah Kekuasaan Kerajaan Tanah Jawa,” ujarnya di salah satu café, Jalan Sisingamangaraja Kota Siantar, Rabu (29/5/2024).
Lebih lanjut, Arwansyah Sinaga menyatakan, kalau ada kelompok tertentu mengatakan ada tanah adat di Dolok Parmongan mengatas namakan marga Siallagan karena marga Siallagan kawin dengan keturunan raja marga Sinaga, jelas keliru.
“Saya mengetahui, tidak ada boru keturunan raja kawin dengan marga Siallagan. Tapi, boru keturunan raja itu kawin dengan marga Damanik. Dan saya juga mengikuti tradisi itu, istri saya boru Damanik,” ujar cicit Raja Tanah Jawa tersebut.
Senada dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partumpuan Pemangku Adat Budaya Simalungun (PPABS). Dan membenarkan ada oknum tertentu mengklaim tanah di Dolok Parmonangan ada tanah adat.
“Kalaupun ada, ya tanah raja namanya. Jadi dulu, Dolok Parmonangan merupakan wilayah Kerajaan Tanah Jawa,” ucap Ketua Bidang Hukum dan Litbang DPP PPABS, Hermanto Sipayung SH.
Dijelaskan, masa kepemimpinan Djintar Sinaga, ada perjanjian antara Kerajaan Tanah Jawa dengan Belanda yang tertuang dalam “Acte van Concessie” tahun 1912.
Perjanjian itu menyatakan bahwa Raja Tanah Jawa memberikan izin pengelolaan lahan kepada Belanda. Tanah itu berupa lahan di wilayah Dolok Parmonangan (Parmanangan). “Belanda sendiri mengakui, kalau pemilik lahan adalah Raja Tanah Jawa,” tandasnya.
Ditegaskan juga, wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun yang dikenal dengan “Raja Marpitu”, tidak mengenal istilah tanah adat/ulayat. Karena pemilik tanah di wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun adalah raja.
Raja-raja itu, Raja Silou bermarga Purba Tambak, Raja Panei bermarga Purba Dasuha, Raja Purba bermarga Purba Pakpak, Raja Silimakuta bermarga Girsang, Raja Raya bermarga Saragih Garingging, Raja Siantar bermarga Damanik dan Raja Tanah Jawa bermarga Sinaga.
Karena ada oknum yang mengklaim bahwa tanah di Dolok Parmonangan merupakan tanah adat, DPP PPABS menyurati Presiden RI, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH), dan lembaga negara terkait lainnya.
Surat DPP PPABS meminta Komnas HAM agar saat membahas persoalan tanah di Dolok Parmonangan, mengacu kepada kepemilikan tanah, adat dan sejarah Simalungun. Artinya, pihak terkait sebagai penyelenggara negara atau pemerintah, agar segera menuntaskan problem yang cukup mengganggu masyarakat etnis Simalungun itu.
“Kami juga meminta Komnas HAM menjaga independensinya, tidak hanya menggali informasi dari satu pihak. Tetapi, meminta informasi dan pendapat dari pemangku adat dan buadaya Simalungun, serta ahli waris dari raja-raja Simalungun,” tutur Hermanto Sipayung.
DPP PPABS jugamenjelaskan, sampai saat ini belum ada peraturan daerah (Perda) di Kabupaten Simalungun tentang pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Sehingga, ketika penetapan masyarakat hukum adat belum ada, maka ketentuan Pasal 67 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, serta Pasal 34 ayat 1 PP Nomo 33 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan, tidak terpenuhi.
“Kalaupun ada tanah adat/ulayat di Kabupaten Simalungun, sebelumnya harus mendapat penetapan dari ahli waris raja-raja di Simalungun dan marga-marga Simalungun. Karena yang berhak menyatakan atau memiliki tanah adat di wilayah Simalungun, ahli waris raja,” tegasnya.
Terkait dengan itu, PPABS menetapkan kriteria untuk disimpulkan memiliki tanah adat. Diantaranya, memiliki Subjek. Artinya , adanya masyarakat, aksara, bahasa, marga, tatanan kehidupan, ada tutur dan lainnya.
Kemudian, memiliki objek adanya tanah, seperti parjalangan, tapian, tanah partuanon, galunggung dan lainnya. Memiliki hubungan antar subjek dan objek. Memiliki teritorial, garis keturunan, hubungan turunan darah, suku asli.
Selanjutnya, ada peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan pemerintah. Tidak bisa dimiliki pribadi, harus dipergunakan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama dan dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat adat.
“Hal lain, digunakan secara bersama-sama, untuk dikelola, bukan untuk dimiliki atau bukan untuk menjadi hak milik perorangan,” ujar Hermanto Sipayung, (surati)









